Rabu, 08 Februari 2012

Damai, damai dalam perut .

“Cinta berawal dari perut”

Pepatah kuno memang, tapi masih bisa dipercaya. Artinya, cinta bisa semakin tumbuh atau semakin berkembang karena hidangan yang disajikan orang-orang dekat kita dengan “bumbu” kasih sayang.
“Perdamaian berawal dari perut”
Yang ini pepatah baru buatanku. Wow… wow… keren ya bisa bikin pepatah. Bukannya ingin dibilang orang bijak, tapi terlintas saja sebuah ide ketika perut sedang kenyang sehabis makan bareng-bareng (asyiknya rame-ramelah kata skrip di sebuah iklan rokok). Mau tahu ceritanya? Baca terus dong:)

Sebelum terusin baca, coba perhatikan foto yang ada di bawah ini. Foto yang merekam aktivitas paling menyenangkan dalam hidup ini. Makan. Apalagi makannya rame-rame hasil karya bersama pula.


Asyiknya reme-rame...
Acara makan bersama yang bikin hati ceria. Hati ceria wajah pun jadi sumringah. Sebetulnya hanya menu sederhana. Nasi bungkus yang masaknya langsung dicampur dengan ikan teri dan telor dimakan dengan sambal terasi dan lalapan daun singkong. Penyajiannya pun hanya di atas selembar daun pisang (dan tentu sekarang pun menjadi “memori daun pisang” yang tak terlupakan). Makan bareng-bareng setelah memasaknya bersama-sama pula.
Itu tadi sebuah aktivitas rutin setiap manusia dalam kehidupannya sehari-hari, makan. Karena hanya merupakan rutinitas sehari-hari, kegiatan makan ini jadi terlupakan maknanya, padahal dalam momen tertentu bisa sangat bermakna. Acara makan bersama, misalnya, yang berawal dari sebuah ide dadakan saat lagi nongkrong bareng seperti dalam foto di atas. Dari iseng-iseng, berkreasi (masak-masak maksudnya), kemudian apalagi kalau bukan perut kenyang, dan tanpa disadari terciptalah sebuah kebersamaan dalam kegembiraan. Kebersamaan itu sebuah hal yang menyenangkan pastinya karena merupakan situasi yang jauh dari kesenjangan dan perbebadaan yang semua semua itu seringkali bisa menimbulkan perpecahan. Perpecahan antarperorangan, antarkelompok atau antargolongan atau bahkan antarmasyarakat yang sering terjadi di negeri ini.
Kebersamaan itu penting karena melalui kebersamaan itulah hal yang lebih besar bisa diciptakan.
Apa itu? Kedamaian, situasi yang didambakan oleh setiap orang.

Bisa bercerita seperti itu karena waktu ikut makan bareng memang terasa banget suasana kebersamaannya. Dari momen acara itu, kami lupa bahwa “anggota” makan bersama nasi liwet itu terdiri dari bersuku-suku dengan stutus sosial berbeda. Yang ada hanya satu perasaan dan pikiran. Semua yang terlibat di dalamnya ingin merasakan dan cuma memikirkan kebahagiaan bersama-sama.
Semua tidak pernah menyinggung latar belakang masing-masing. Acara makan bareng waktu itu dilakukan di pelataran sebuah gedung futsal di dekat tempat tinggal kami. Yang ikut asyik rame-rame pun ada seorang kandidat doktor, ada yang sedang mengikuti pendidikan magister, pegawai-pegawai gedung futsal dari pengelola sampai tukang parkirnya, pemiliki toko minuman dan warung kopi di sarana olahraga itu, serta penjaga tempat kos. Sementara latar belakang suku mereka ada yang orang Aceh, orang Sunda, orang Jawa, dan orang Padang. Latar belakang seperti itu yang bisa menimbulkan pengkotakan-pengkotakan dalam masyarakat jadi sirna. Yang ada hanya pikiran, “Mari kita bergembira bersama melalui acara makan-makan”. Kalau sudah bergembira bersama-sama, hanya perdamaian yang terasa.
Nggak jauh kan? Jadi, makan (bersama)-kenyang-kegembiraan-kebersamaan-kedamaian masih bisa dihubungkan. Bener kan masih satu RW? :)
Kesimpulannya, perut kenyang sebagai akibat makan (bersama-sama atau sendiri-sendiri) bisa menciptakan perdamaian. Bukannya kemampuan memenuhi kebutuhan makan merupakan salah satu indikator kesejahteraan? Dan, kesejahteraan bisa menciptakan kedamaian (perdamaian).
Implikasinya dalam skala lebih besar, misalnya kelompok masyarakat, pun dapat dijelaskan. Coba bayangkan seandainya masing-masing orang dalam sebuah kelompok masyarakat bisa memenuhi kebutuhan makan mereka dengan baik, betapa gembiranya mereka. Dengan demikian, barangkali akan tercipta kedamaian di antara mereka. Sebuah masyarakan yang boleh dibilang sejahtera. Tentu tidak ada lagi pertikaian seperti yang sering diberitakan di media. Demo menuntut ini-itu yang ujung-ujungnya tidak jauh dari urusan kesejahteraan pun tidak lagi digelar. Kalau masyarakat bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka dan setiap hari tidak ada yang kelaparan, apalagi yang mau dituntut melalui demo-demo dan alasan apalagi yang dijadikan “bahan” pertikaian. Tidak ada.
Pernyataan-pernyataan di atas tidak bermaksud mengatakan sumber utama pertikaian antarperorangan dan antarkomunitas adalah kelaparan. Tapi, setidaknya masyarakat yang kesejahteraannya tercapai tidak mudah disulut dan tersulut untuk bertikai antarsesama mereka. Kenyataannya yang kita lihat di tayangan berita-berita televisi tentang pertikaian antarperorangan dan antarkelompok pada umumnya berpelaku orang atau masyarakat yang belum atau kurang sejahtera.

Akhirnya… Tidak berlebihan kalau dikatakan, “Perdamaian berawal dari perut”. Pertanyaannya, melihat kondisi Indonesia yang seperti sekarang ini, kapan ya semua orang di negeri ini bisa makan dengan tenang dan gembira? Tidak ada lagi orang yang bertanya, “Apa besok bisa makan?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar